Selasa, 21 Januari 2014

Berkaca dari Ciliwung, Balthasar Ingatkan Banjir dan Longsor Dampak Kerusakan Ekologi



Menteri Lingkungan Hidup, Balthasar Kambuaya, bersama rombongan Kementerian Lingkungan Hidup memantau hulu Sungai Ciliwung di Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Senin (20/1/14). Di desa ini, vila-vila ilegal dirobohkan oleh pemerintah Kabupaten Bogor. Kawasan ini, seharusnya menjadi daerah resapan air.

“Kami dukung upaya pemerintah daerah membongkar bangunan di Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan dalam menegakkan peraturan daerah tentang tata ruang,” katanya dalam pernyataan yang dikirim kepada media, Senin (20/1/14).

Upaya pemerintah daerah ini, kata Balthasar, untuk mengembalikan fungsi ekosistem hutan dan lingkungan seperti semula. “Menjadi daerah resapan air agar lingkungan tetap terjaga dengan baik dan tak terjadi bencana alam.”

Sebelum itu, rombongan ke pintu air Katulampa Bogor. Di sana Balthasar ditemani Joko Widodo, Gubernur Jakarta, dan Ahmad Heryawan, Gubernur Jawa Barat serta Bupati dan Walikota Bogor. Agoes Widjanarko, Sekretaris Jenderal Kementerian Pekejaan Umum, juga hadir. Mereka membicarakan penanganan banjir di Jakarta, dan sekitar.

Dalam penelusuran DAS Ciliwung itu, Menteri melihat betapa alih fungsi banyak terjadi di sepanjang DAS Ciliwung, baik di hilir, tengah maupun hulu terutama untuk pemukiman. Menurut dia, kondisi ini, mendorong banjir dan longsor di sekitar DAS Ciliwung yang berdampak ke Jakarta.

Tak hanya di Jakarta, katanya, fenomena banjir dan longsor di sejumlah daerah di Indonesia, merupakan bentuk kerusakan ekologis. Sebab, sebagian daerah hulu sungai, merupakan daerah resapan air banyak beralih fungsi hingga perlu upaya pengendalian.

Laju kerusakan ekologis atau degradasi lingkungan di Indonesia dari tahun ke tahun makin memprihatinkan. Kondisi ini, katanya, dapat terlihat dari penurunan luas tutupan hutan di Indonesia dari 49.37% tahun 2008 menjadi 47,73 % tahun 2012. Selama rentang waktu itu laju degradasi lingkungan sebesar 1,64 %.

Alih fungsi ini terjadi di DAS Ciliwung, dan sangat mengkhawatirkan. Ini tercermin dari penurunan luas tutupan hutan dari 9,4 % tahun 2000 menjadi 2,3% tahun 2010 laju degradasi lingkungan 7,14 % atau 0,7 % per tahun.

Menurut dia, kerusakan ekologis DAS Ciliwung seperti lahan kritis dengan erosi dan sedimentasi tinggi, fluktuasi debit tinggi antara musim kemarau dan penghujan. “Ini salah satu faktor penyebab kejadian banjir di daerah Jakarta dan tanah longsor di beberapa daerah hulu DAS Ciliwung.”

Keadaan itu, katanya, menandakan DAS Ciliwung makin tak sehat, perbedaan debit air musim kemarau dan musim penghujan lebih dari 300 kali lipat. Semua ini, salah manusia. “Perilaku manusia tidak ramah lingkungan seperti tak peduli lingkungan khusus di Sungai Ciliwung, sampah banyak dibuang langsung ke sungai, diperparah limbah rumah tangga.”

Berbagai masalah menjadi beban berat yang harus ditanggung DAS Ciliwung. Jadi, harus didukung perencanaan tata ruang yang baik dan sinergis antara hulu dan hilir.

Kondisi Ciliwung, tambah parah karena airpun tercemar. Berdasarkan data hasil pemantauan kualitas air Pusarpedal 2012, menyatakan, kualitas air Sungai Ciliwung sampai saat ini tercemar berat. Ini berdasarkan indek storet, dengan batas cemar berat 30, mulai dari Masjid Atta’awun di hulu DAS Ciliwung (nilai -66) sampai di PIK, merupakan hilir DAS Ciliwung (nilai -102).


Source: Mongabay.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar