Rabu, 29 Januari 2014

Aksi Jerinx Cs Suarakan Tolak Reklamasi Teluk Benoa Lewat Seni



Jerinx, SID bersama Khalisah Khalid dari Walhi Nasional, kala jumpa pers, Kamis (23/1/14) di Jakarta. Foto: Tumpak W Hutabarat
Jerinx, SID bersama Khalisah Khalid dari Walhi Nasional, kala jumpa pers, Kamis (23/1/14) di Jakarta. Foto: Tumpak W Hutabarat

Halaman Universitas Prof Moestopo (Beragama), di Jakarta, Kamis malam (23/1/14) dipadati tak kurang 500-an orang.  Berdesak-desakan. Mereka berteriak, dan bernyanyi. Ada apa? Ternyata, malam itu ada panggung solidaritas “Selamatkan Pesisir Indonesia,” yang digagas Walhi dan ForBali. Acara ini untuk mengkiritisi obral izin reklamasi di berbagai daerah, termasuk di Teluk Benoa, Bali.
Tampil antara lain Jerinx Superman Is Dead (SID) &EcoDefender, Marginal, Didit Saad & Morris Orah, Buguyaga, Made Mawut, dan Choki Netral.

Acara dibuka dengan talk show tentang reklamasi Teluk Benoa, Bali maupun daerah pesisir di Indonesia. Setelah itu, dilanjutkan aksi para musisi. Marginal tampil memukau lewat lagu-lagu bertema sosial, kemanusiaan dan lekat dengan kritikan seperti Negeri Ngeri, dan Banjir. Begitupula Jerinx, bersama EcoDefender, tampil dengan beberapa lagu ditutup Bali Tolak Reklamasi, yang dinyanyikan bersama Choki Netral. Para penonton ikut bernyanyi bersama.
Lagu Bali Tolak Reklamasi, memang selalu dibawakan dari panggung ke panggung, aksi ke aksi dalam protes penolakan reklamasi Teluk Benoa di Bali. Lagu yang dibuat aktivis ForBali, Agung Ali ini gamblang mengkritik kebijakan pemerintah daerah Bali segera menghentikan rencana mereklamasi Teluk Benoa.

“Lagu ini diciptakan oleh mereka, dan saya punya ide bagaimana kalau lagu ini kita rekam dan dinyanyikan rame-rame. Kita jadikan lagu untuk menolak reklamasi. Kita selalu nyanyikan di konser-konser, di kampus, bar dimana saja,”  kata Jerinx,  penabuh drum grup band SID, saat konferensi pers di Walhi Nasional Jakarta, Kamis siang (23/1/14).
Pria yang bernama asli I Gede Ari Astina ini mengatakan, sangat vokal menolak rencana reklamasi Teluk Benoa dengan bernyanyi dan turun aksi ke jalan. “Selain bikin lagu, bikin video klip, kita juga membuat pasar mini untuk mengumpulkan dana, dan membuat t-shirt kampanye menolak reklamasi Teluk Benoa. Jadi kita mengkampanyekan dengan cara populer.”

Cara-cara itu, katanya, ditempuh agar anak muda mengerti dengan isu-isu ini.  Jerinx menyasar anak muda karena generasi tua tak bisa diharapkan.
“Di Bali, anak muda kental dengan budaya hedon. Mereka selalu dibuai paradigma hidup itu harus dinikmati, tak usah memperhatikan hal ribet-ribet, yang penting rajin sembahyang semua akan baik-baik saja,” ucap Jerinx.
Selama ini, Bali  selalu “dijajah” banyak kapitalis. Bali dianggap indah dan mengundang banyak investor. Dalam proses pembangunan itu, mereka sama sekali tak memperhatikan aspek lingkungan.

Menurut dia, tujuan investor hanya satu: mengeruk sumber daya alam. Jadi mereka tak mempunyai pemikiran dalam membangun Bali, harus memperhatikan efek jangka panjang. “Mereka berpikir, Bali ini terkenal jadi mereka harus membuat sesuatu yang bernilai ekonomi tinggi. Mereka nggak berpikir efeknya seperti apa.”
Bagi dia, mencuatnya isu reklamasi ini bisa dibilang sebuah pengingat akan pembangunan-pembangunan di Bali yang “kurang ajar.” Selama ini, di Bali, sudah terlalu banyak pembangunan tidak ramah lingkungan. Mereka biasa selalu bisa memuluskan langkah dengan menempuh berbagai cara. Bisa menyogok atau pun cara lain.

“Reklamasi ini puncak akumulasi kekesalan kami. Jadi kami sebagai orang Bali,  sebagai manusia merasa sudah cukup Bali dan daerah-daerah lain yang memiliki potensi itu dikuras oleh orang-orang yang mempunyai uang banyak,” ujar dia.
Aksi Tolak Reklamasi Teluk Benoa dan di berbagai daerah di Indonesia di depan Istana Negara Jakarta. Foto: Sapariah Saturi
Aksi Tolak Reklamasi Teluk Benoa dan di berbagai daerah di Indonesia di depan Istana Negara Jakarta. Foto: Sapariah Saturi

Senada dengan Gembul, personel band Navicula. Dia tergerak ikut bersuara menolak reklamasi Teluk Benoa karena permasalahan lingkungan sudah menjadi masalah yang harus dihadapi bersama.
“Saya pribadi tergerak sebagai orang Bali juga. Untuk reklamasi ini,  kebetulan saya dan teman-teman di Navicula selalu mengkampanyekan. Kami banyak bekerjasama dengan LSM. Belakangan banyak jalan bareng bersama Walhi.”

Dia tak mau anak cucu tidak bisa tinggal di Bali karena kalau reklamasi dijalankan  dipastikan mengubah daerah ini. “Bali sekarang saja sudah berbeda dengan 20 tahun lalu. Saya ingat 20 tahun lalu masih bisa melihat keindahan Kuta. Sekarang sudah berkurang.”
Untuk melawan ini, harus begandengan tangan. Saat ini, katanya, bukan zaman bergerak sendiri. “Jadi apa apa yang bisa kita lakukan, harus berkolaborasi, semua harus ikut andil. Saya sebagai musisi, bisa kampanye melalui musik, support dengan apa yang kita bisa. Wartawan, pelukis, photografer semua elemen bersatu dengan kolaborasi akan menjadi lebih kuat dan besar,” kata Gembul.
Penolakan rencana reklamasi ini juga datang dari personel band Netral, Choki. Kata dia, proyek reklamasi ini hanya menguntungkan kapitalis.

“Menurut gue pribadi reklamasi ini mikirnya sih kapital  mau mengeruk dan menutup Teluk Benoa.  Disitu kan banyak biota laut dan hutan mangrove. Kalau biota laut mati, tentu kehidupan yang lain juga akan mati.”
Dia mengatakan, warga lokal di sekitar proyek reklamasi akan langsung terkena imbas.  Jika proyek ini tetap dipaksakan, keindahan pula dewata akan hilang.

“Bali yang kita kenal lima tahun lalu dengan sekarang saja sudah berbeda. Kalau nanti reklamasi jadi, Bali nanti isinya komplek hotel doang dong. Kita mau lihat apa disitu?”

Menurut dia, hutan mangrove bisa bermanfaat menjadi ecowisata. “Jadi kita bisa snorkling atau diving disana. Biota laut berbeda, banyak ikan dan udang. Daerah mangrove biota berbeda. Mereka itu yang mempertahankan air. Jadi kita harus menolak reklamasi Teluk Benoa,” katanya.
Nur Hidayati, Kepala Departemen Advokasi dan Kampanye Walhi, mengatakan, keterlibatan musisi dan para seniman dalam setiap advokasi penyelamatan lingkungan menandakan isu ini milik semua orang.

“Ini menyangkut soal keberlanjutan kehidupan. Bukan hanya hari ini, tapi generasi akan datang. Kita lihat saat ini bencana ada dimana-mana. Ini bukan bencana alam, tapi bencana ekologis,” kata Yaya, sapaan akrabnya.

Yaya mengatakan, bencana ekologis itu akibat pembangunan tidak terkontrol dan mengorbankan wilayah konservasi.  Sedang masyarakat miskin selalu menjadi kambing hitam.“Kita ingin mencegah ini tidak terjadi di Bali. Kalau sampai terjadi, akan menimbulkan kerusakan sangat masif. Kita lihat di Jakarta. Proyek reklamasi di Pantai Indah Kapuk menyebabkan banjir sangat besar.”
Menurut dia, dalam memuluskan proyek reklamasi ini, pemerintah dan pengusaha melakukan konspirasi. Mereka mencari celah agar dari sisi peraturan seolah-olah legal. “Masyarakat sudah dibohongi. Pemerintah tak punya itikad baik. Kita tak bisa hanya diam. Tahun 2014 ini momentum tepat buat kita bergerak.”
Senada diungkapkan Selamet Daroyni, koordinator pendidikan dan penguatan jaringan Kiara.  Dia mengatakan, proyek reklamasi di Indonesia merupakan bentuk kemudahan bagi para penguasa menguasai lahan-lahan di pesisir dan memberikan dampak buruk bagi penghidupan nelayan.

“Proyek reklamasi akan makin memperparah kota-kota pesisir karena kehilangan daya dukung lingkungan yang berakibat pada banjir. Reklamasi ini perampasan wilayah laut, setelah mereka kesulitan mencari lahan di darat.”
Tampak Jerinx SID dan Gembul Navicula turut dalam aksi tolak reklamasi Teluk Benoa di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi
Tampak Jerinx SID dan Gembul Navicula turut dalam aksi tolak reklamasi Teluk Benoa di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi

www.mongabay.co.id 

Penataan Ulang, 84 Satwa KBS Dalam Kondisi Cacat & Sakit

Beruang sakit di kandang karantina. Foto: Petrus RiskyBeruang sakit di kandang karantina. Foto: Petrus Risky

Sebanyak 84 satwa koleksi Kebun Binatang Surabaya dalam kondisi cacat dan sakit, 44 satwa diantaranya memerlukan perawatan medis intensif akibat sakit yang diderita sebelumnya. Direktur Utama Perusahaan Daerah Taman Satwa Kebun Binatang Surabaya, Ratna Achjuningrum mengatakan, kondisi satwa itu telah demikian adanya sebelum Perusahaan Daerah Taman Satwa mengelola Kebun Binatang Surabaya.

“Informasi ini kita sampaikan, tujuannya untuk mengedukasi kita semua, bahwa satwa di kebun binatang itu makhluk hidup yang bisa mati, dan kematian satwa di suatu lembaga konservasi adalah wajar. Bisa karena sakit, usia tua atau seleksi alam lainnya,” papar Ratna Achjuningrum, Direktur Utama Perusahaan Daerah Taman Satwa Kebun Binatang Surabaya.
Selain itu juga 41 ekor satwa yang berusia sangat tua dan dalam pengamatan khusus, karena mendekati batas akhir usia harapan hidup satwa bersangkutan. Pernyataan itu sekaligus untuk mengklarifikasi derasnya sorotan media, bila ada satwa yang mati di Kebun Binatang Surabaya selalu dikaitkan dengan opini
 pengelolaan yang kurang bagus.
Babi Rusa tua yang kurus kering. Foto: Petrus Risky
 Babi Rusa tua yang kurus kering. Foto: Petrus Risky

“Kondisi seperti itu, cacat, sakit dan tua, sudah ada sebelum PDTS mengelola KBS pada 15 Juli 2013,” kata Ratna Achjuningrum kepada Mongabay-Indonesia, Selasa (28/1) di kantor Bagian Humas dan Protokol Pemerintah Kota Surabaya.
Pendataan dan pemeriksaan kondisi satwa ini dilakukan, bersama dengan pemeriksaan kondisi kandang yang juga banyak yang harus segera diperbaiki. “Kami sudah lakukan pendataan bersama dengan BKSDA, baik untuk kondisi kesehatan satwa dan juga kondisi kandang. Smua kami foto satu persatu,” ujar Ratna.
Ratna mengungkapkan, sebelumnya terdapat 204 spesies di Kebun Binatang Surabaya, namun kini jumlahnya tinggal 197 spesies. Sementara itu secara keseluruhan, total satwa di Kebun Binatang Surabaya sebanyak  3.459 ekor. “Selain banyak yang sakit dan cacat, beberapa di antaranya bahkan sakit cukup parah,” ungkap Ratna.

Ratna menjelaskan beberapa satwa yang cacat, sakit dan berusia tua di Kebun Binatang Surabaya, diantaranya seekor gajah bernama Hilir berjenis kelamin betina dan berusia 25 tahun.  “Saat PDTS pertama kali masuk, gajah itu dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Selain sudah tua, mata kanannya sakit dan berselaput,” kata Ratna.
Kandang pelikan yang sudah sangat padat. Foto: Petrus Risky
Kandang pelikan yang sudah sangat padat. Foto: Petrus Risky

“Selain itu ada juga Candrika, seekor harimau putih berumur 16 tahun. Kondisi lidah Candrika sudah tidak normal karena tidak mampu mengais makanan dengan lidahnya. Hal itu tentu saja berimbas pada menurunnya nafsu makannya. Kalau sebelumnya sudah menurun 3 kilogram daging per hari, kini Candrika hanya mau menyantap 1 kilogram daging per hari,” Ratna menjabarkan.
Ada juga seekor singa bernama Angeli yang mengalami kelainan pada kaki belakangnya, sehingga singa itu harus berjalan sempoyongan. Di luar ketiga hewan tersebut ujar Ratna, masih banyak satwa dengan kondisi yang sama, seperti celeng goteng, beruang madu, kuda nil, dan komodo. Kelompok aves juga ada yang dalam kondisi cacat dan sakit.

“Terdapat 33 burung yang juga dalam kondisi cacat dan sakit, termasuk 3 merak biru dan 10 jalak bali,” ujarnya.
Kondisi satwa yang cacat, dan sakit itu lanjut Ratna, sebagian besar disebabkan oleh perilaku satwa itu sendiri, serta lemahnya pengawasan satwa oleh pengelola sebelum Perusahaan Daerah Taman Satwa.
“Bisa jadi karena satwa bersikap hiperaktif, atau perkelahian antar hewan dalam kandang. Bisa juga karena lemahnya pengawasan sebelum ditangani PDTS KBS sehingga membuat faktor-faktor itu mungkin saja terjadi. Sdangkan yang sudah tua, sudah pasti juga akan mati,” terangnya.
Sejauh ini Perusahaan Daerah Taman Satwa ujar Ratna, telah berupaya melakukan perawatan maksimal, seperti dengan memberikan obat, vitamin serta makanan yang berkualitas.
“Secara triwulan, PDTS rutin memberikan laporan kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA),” imbuhnya.
Dirut PDTS KBS Ratna Achjuningrum (tengah) memberikan keterangan pers terkait KBS. Foto: Petrus Risky
Dirut PDTS KBS Ratna Achjuningrum (tengah) memberikan keterangan pers terkait KBS. Foto: Petrus Risky

Satwa Surplus
Data Perusahaan Daerah Taman Satwa menyebutkan, terdapat beberapa satwa surplus yang perlu dipikirkan solusi penanganannya. Ratna menyebutkan beberapa satwa surplus seperti jalak bali yang berjumlah 144 ekor, dan pelikan berjumlah 94 ekor.

“Sejauh ini, dua jenis satwa tersebut yang populasinya paling banyak. Hal itu tentu berpengaruh terhadap penyediaan lahan dan kandang demi kenyamanan satwa,” kata Ratna.
Terkait satwa surplus, Perusahaan Daerah Taman Satwa Kebun Binatang Surabaya sedang berkoordinasi dengan Kementerian Kehutanan  serta BKSDA, mengenai langkah yang harus dilakukan.

“Kalau memang ada rekom dari Kementerian maupun BKDSA untuk dipindah, ya akan kami pindah tentunya proses kepindahan sesuai prosedur agar tidak terjadi over populasi,” lanjutnya.
Mengenai pertukaran satwa, Ratna menegaskan bahwa pertukaran dapat dilakukan dengan berlandaskan pada Peraturan Pemerintah (PP) 8/1999 Tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar. Pada pasal 33 dan 34 dijelaskan, pertukaran boleh dilakukan dengan beberapa persyaratan, antara lain harus ada evaluasi terlebih dulu, harus ada tim penyetaraan nilai konservasi, serta ijin Presiden untuk satwa tertentu.
Kandang singa di KBS. Foto: Petrus Risky
Kandang singa di KBS. Foto: Petrus Risky

“Selain itu langkah teknis juga menjadi pertimbangan untuk melengkapi persyaratan pertukaran satwa, diantaranya untuk pemberi dan penerima satwa harus kembali memastikan, apakah penerima satwa mempunyai kandang dan keeper yang layak serta mampu menjaga satwa tersebut,” tutur Ratna.
Terkait pertukaran satwa dengan kendaraan bermotor dan museum pendidikan oleh pengelola Kebun Binatang Surabaya sebelumnya, Ratna mengakui kebenaran hal itu, dan tidak akan menggunakan barang-barang hasil pertukaran satwa sebelumnya sambil menunggu keputusan resmi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“PDTS tidak akan menggunakan barang-barang hasil pertukaran yang diduga bermasalah. Termasuk kandang kambing gunung yang masih dalam perbaikan itu tidak kami gunakan, karena statusnya masih bermasalah,” ucapnya.
Ratna menambahkan, meski satwa di Kebun Binatang Surabaya dalam kondisi masih surplus, namum secara jumlah spesies mengalam penurunan sehingga memerlukan penambahan satwa baru di kemudian hari.
“Memang ada surplus, tapi spesies turun dari 204 menjadi 197, sehingga butuh pengayaan. Ke depan penambahan spesies akan dilakukan, namun PDTS akan fokus pada pembenahan kualitas kandang terlebih dahulu,” ungkap Ratna yang menyebut kondisi kandang Kebun Binatang Surabaya masih jauh dari kesan layak, baik dari segi keamanan maupun dari segi standar operasional sesuai taraf internasional.
Kandang harimau di KBS. Foto: Petrus Risky
Kandang harimau di KBS. Foto: Petrus Risky

Kematian Hewan, Brankas Misterius dan Pertukaran Satwa
Dalam upaya meningkatkan keamanan di Kebun Binatang Surabaya, pasca terjadinya kematian tidak wajar singa jantan bernama Michael, Ratna Achjuningrum mengatakan, pemasangan kamera CCTV akan dilakukan di 52 titik di seluruh area Kebun Binatang Surabaya.  “Saat ini CCTV sudah dipasang di 18 titik, ada yang di dalam dan di luar kandang. Mengenai lokasi persisnya tentu dirahasiakan demi kepentingan keamanan. Sisanya dipasang menyusul secara bertahap,” terangnya.
Pemasangan kamera CCTV ini merupakan upaya mencegah kematian satwa dari gangguan manusia, maupun keamanan Kebun Binatang secara keseluruhan. “Kamera CCTV ini untuk keamanan satwa, keeper satwa, serta pengunjung KBS,” tambahnya.

Upaya mengurangi faktor human error sehingga dapat berdampak pada kematian satwa, Perusahaan Daerah Taman Satwa juga melakukan evaluasi sumber daya manusia (SDM). Hal itu sesuai hasil keputusan rapat di kantor Presiden, Jakarta Pusat, Selasa lalu (21/1). Dari hasil evaluasi diketahui adanya karyawan yang melebihi batas pensiun sesuai peraturan daerah (perda).
“Ada 27 orang yang melebihi batas pensiun 56 tahun. Parameter evaluasi didasarkan pada loyalitas, attitude (kelakuan), softskill dan hardskill. Kita akan dalami lebih jauh, mana yang layak menjadi karyawan KBS mana yang tidak,” tandas Ratna.




www.mongabay.co.id

Selasa, 21 Januari 2014

Berkaca dari Ciliwung, Balthasar Ingatkan Banjir dan Longsor Dampak Kerusakan Ekologi



Menteri Lingkungan Hidup, Balthasar Kambuaya, bersama rombongan Kementerian Lingkungan Hidup memantau hulu Sungai Ciliwung di Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Senin (20/1/14). Di desa ini, vila-vila ilegal dirobohkan oleh pemerintah Kabupaten Bogor. Kawasan ini, seharusnya menjadi daerah resapan air.

“Kami dukung upaya pemerintah daerah membongkar bangunan di Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan dalam menegakkan peraturan daerah tentang tata ruang,” katanya dalam pernyataan yang dikirim kepada media, Senin (20/1/14).

Upaya pemerintah daerah ini, kata Balthasar, untuk mengembalikan fungsi ekosistem hutan dan lingkungan seperti semula. “Menjadi daerah resapan air agar lingkungan tetap terjaga dengan baik dan tak terjadi bencana alam.”

Sebelum itu, rombongan ke pintu air Katulampa Bogor. Di sana Balthasar ditemani Joko Widodo, Gubernur Jakarta, dan Ahmad Heryawan, Gubernur Jawa Barat serta Bupati dan Walikota Bogor. Agoes Widjanarko, Sekretaris Jenderal Kementerian Pekejaan Umum, juga hadir. Mereka membicarakan penanganan banjir di Jakarta, dan sekitar.

Dalam penelusuran DAS Ciliwung itu, Menteri melihat betapa alih fungsi banyak terjadi di sepanjang DAS Ciliwung, baik di hilir, tengah maupun hulu terutama untuk pemukiman. Menurut dia, kondisi ini, mendorong banjir dan longsor di sekitar DAS Ciliwung yang berdampak ke Jakarta.

Tak hanya di Jakarta, katanya, fenomena banjir dan longsor di sejumlah daerah di Indonesia, merupakan bentuk kerusakan ekologis. Sebab, sebagian daerah hulu sungai, merupakan daerah resapan air banyak beralih fungsi hingga perlu upaya pengendalian.

Laju kerusakan ekologis atau degradasi lingkungan di Indonesia dari tahun ke tahun makin memprihatinkan. Kondisi ini, katanya, dapat terlihat dari penurunan luas tutupan hutan di Indonesia dari 49.37% tahun 2008 menjadi 47,73 % tahun 2012. Selama rentang waktu itu laju degradasi lingkungan sebesar 1,64 %.

Alih fungsi ini terjadi di DAS Ciliwung, dan sangat mengkhawatirkan. Ini tercermin dari penurunan luas tutupan hutan dari 9,4 % tahun 2000 menjadi 2,3% tahun 2010 laju degradasi lingkungan 7,14 % atau 0,7 % per tahun.

Menurut dia, kerusakan ekologis DAS Ciliwung seperti lahan kritis dengan erosi dan sedimentasi tinggi, fluktuasi debit tinggi antara musim kemarau dan penghujan. “Ini salah satu faktor penyebab kejadian banjir di daerah Jakarta dan tanah longsor di beberapa daerah hulu DAS Ciliwung.”

Keadaan itu, katanya, menandakan DAS Ciliwung makin tak sehat, perbedaan debit air musim kemarau dan musim penghujan lebih dari 300 kali lipat. Semua ini, salah manusia. “Perilaku manusia tidak ramah lingkungan seperti tak peduli lingkungan khusus di Sungai Ciliwung, sampah banyak dibuang langsung ke sungai, diperparah limbah rumah tangga.”

Berbagai masalah menjadi beban berat yang harus ditanggung DAS Ciliwung. Jadi, harus didukung perencanaan tata ruang yang baik dan sinergis antara hulu dan hilir.

Kondisi Ciliwung, tambah parah karena airpun tercemar. Berdasarkan data hasil pemantauan kualitas air Pusarpedal 2012, menyatakan, kualitas air Sungai Ciliwung sampai saat ini tercemar berat. Ini berdasarkan indek storet, dengan batas cemar berat 30, mulai dari Masjid Atta’awun di hulu DAS Ciliwung (nilai -66) sampai di PIK, merupakan hilir DAS Ciliwung (nilai -102).


Source: Mongabay.co.id

Selasa, 14 Januari 2014

Jgja Ora di Dol

FESTIVAL Seni Mencari Haryadi yang digelar puluhan seniman Yogyakarta di depan rumah dinas (rumdin) Walikota Yogyakarta Minggu (13/10/2013), sungguh menarik untuk diperhatikan. Bukan saja menarik dari para pelaku yang kebanyakan tak diragukan lagi ‘kadar’ kesenimanannya, namun juga maksud/tujuan dari aktivitas itu. Jika disimpulkan, para seniman mewakili warga Yogya mengingatkan pemerintah agar jangan terjebak pada materialistik-kapitalistik. Mengelola Yogyakarta tetap sebagai Yogyakarta yang memiliki budaya asli. Yogya Ora Didol atau Yogya Tidak Dijual.

Itulah seniman Yogya yang sekaligus mewakili warga Yogyakarta. Memiliki cara khas untuk mengritisi para pemimpin. Catatan sejarah membuktikan, kritik dan koreksi selalu disampaikan (oleh warga Yogya) secara santun dan konstruktif. Tinggal bagaimana para pemimpin ‘menyikapi’ hal tersebut. Apakah para pemimpin sensitif atau menebalkan telinga tak mau mendengar dan tak mau berpikir.

Jargon ‘Yogya Ora Didol’ memiliki pesan moral yang sangat dalam. Meski sedikit terlambat, namun saat inilah rentang waktu yang tepat untuk introspeksi: Akan menjadi kota seperti apakah Yogyakarta kurun waktu 10 tahun, 20 tahun, 25 tahun, 50 tahun yang akan datang? Indikasi perubahan fisik, sudah sangat terasa dengan menjamurnya mall dan hotel yang mengakses pada industri pariwisata. Kekhawatiran akan mengubah tatanan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat bukan hantu tak berdasar. Akan tetapi menjadi premis dan antithesa yang harus serius dikaji oleh pemerintah secara benar. Negara harus berperan melindungi warga melalui kebijakan yang tidak boleh salah langkah.

Tahun 1992, dalam Konferensi Pasific Asia Travel Association (PATA) di Nusa Dua Bali, para pakar pariwisata budaya Thailand ‘menangisi’ hilangnya karakter budaya Thai akibat eksploitasi wajah Pulau Phuket menjadi surga pariwisata dunia. Kurun waktu 10 tahun, telah meminggirkan warga Thai sekadar ‘penonton’ industri pariwisata yang naik 1.000 persen. Pelaku industri adalah jaringan internasional. Tahun 1992 (21 tahun yang lalu), Bali masih dinilai mampu mempertahankan jati diri. Namun, kini warga Bali pun terlibas. Persis nasib Phuket, sekadar penonton industri pariwisata dengan pemain jaringan internasional. Benang merahnya pun sama: materialistik dan kapitalistik.

Kondisi dan gairah (pemerintah) Yogyakarta dalam ‘menjual’ kawasan saat ini, persis ‘kasus’Phuket dan Bali 21 tahun yang lalu. Dampak industri pariwisata pada perubahan perilaku sosial budaya, hendaknya menjadi pelajaran bagi Yogyakarta. Sesal dulu pendapat/kebijakan, sesal kemudian pasti merepotkan generasi mendatang. Jangan salah mengelola Yogyakarta, agar tetap ‘Yogyakarta’ sampai kapan pun juga. Untuk itu, negara harus selalu hadir melalui kebijakan dan kebijaksanaan pemimpin yang harus cerdas dan harus terus belajar. Sensitif berkat kemampuan berolah cipta, rasa dan karsa.

Nyanyian warga dan seniman Yogyakarta di depan Rumdin Walikota Yogyakarta kemarin kita tahu bermakna simbolis. Spektrum dapat melebar atau mengerucut, yakni kepada para birokrat hirarki di atas walikota. Suara warga dan seniman itu, sebenarnya mewakili kegelisahan rakyat Indonesia akan banyaknya kebijakan yang tidak/kurang memikirkan dampak bagi generasi mendatang. source: Kotajogja.com