Selasa, 11 Februari 2014

Shaggydog: Anjing Adalah Peliharaan, Bukan Untuk Dimakan….

Shaggydog mengampanyekan untuk tidak mengonsumsi daging anjing. Foto: Tommy Apriando

Shaggydog mengampanyekan untuk tidak mengonsumsi daging anjing. Foto: Tommy Apriando

Kebiasaan memakan satwa liar sebagai sumber protein, masih terus berlangsung di berbagai wilayah Indonesia. Tak hanya mengonsumsi satwa langka dan dilindungi, namun juga satwa yang selama ini umum didomestikasi seperti anjing atau kucing. Latar belakang budaya, menjadi salah satu penyebab tradisi ini masih berlanjut di beberapa wilayah di Indonesia. Sementara, menurut para pecinta satwa, hal ini dinilai memakan anjing bukan sebuah tindakan yang benar, selain itu memakan anjing dinilai tidak sehat karena tidak ada kontrol dan standar yang terdata terhadap daging anjing.

Demi mengampanyekan gerakan anti-makan anjing, grup band Shaggydog resmi menjadi duta kampanye Stop Makan Anjing sejak Oktober 2013 silam. Kampanye Stop Makan Anjing ini, merupakan dukungan Shaggydog terhadap gerakan aliansi Stop Makan Anjing yang diusung oleh Animal Friends Jogja (AFJ), Jakarta Animal Aid Network (JAAN), Garda Satwa dan House of Stray (HOS) dan Bali Animal Welfare Association (BAWA).

Vokalis Shaggydog, Heru Wahyono kepada Mongabay-Indonesia mengatakan, salah satu alasan mengapa Shaggydog mau terlibat dalam gerakan kampanye ini dikarenakan Anjing itu satwa domestik, yang bisa dijadikan sahabat manusia dan Anjing juga sangat setia kepada manusia. Anjing bukan hewan ternak yang bisa konsumsi masyarakat. “Kami heran, apa tidak ada makanan lain selain makan  anjing,” kata Heru Wahyono yang akrab di sapa Heru.
Heru juga menambahkan, bahwa banyak Anjing yang mengidap penyakit seperti rabies, bakteri ecoli dan distemper. Penyakit itu bisa menular ke manusia.

Program Manager Animal Friends Jogja (AFJ), DZ Angelina Pane, yang akrab dipanggil Ina, kepada Mongabay-Indonesia mengatakan, kami berterima kasih dan apresiasi besar untuk Shagggydog yang tanpa ragu mendukung kampanye Stop Makan Anjing meskipun dengan resiko kehilangan Doggies dan Honnies (fans) mereka yang kontra karena masih menutup hati terhadap kepedulian Shaggydog atas anjing-anjing yang menjadi korban perdagangan untuk dikonsumsi. Ina juga menambahkan, Shaggydog dan fansnya live up to its name,  bahkan telah memulai penyadartahuan dengan slogan “Doggies Don’t eat Dogs” yang telah digaungkan sebelum kampanye bersama Animal Friendss Jogja.

“Kami angkat sekali lagi gelas kami untuk Shaggydog yang telah jadi duta Stop Makan Anjing,” kata Ina.

Dari catatan AFJ, selama ini mereka mencermati makin maraknya perdagangan anjing untuk konsumsi di Daerah Istimewa Yogyakarta dan kota-kota lain, maupun keresahan dan keprihatinan masyarakat peduli satwa Yogyakarta dan di berbagai kota lain maupun wisatawan mancanegara mengenai kekejaman terhadap satwa, khususnya anjing, yang terjadi dalam aktivitas bisnis tersebut. bergerak karena komitmen kami untuk peningkatan kesejahteraan maupun perlindungan satwa, dan pencegahan terhadap tindakan yang melibatkan kekerasan terhadap satwa.

Selain itu, melihat fakta di DI Yogyakarta sebagai kota budaya, pariwisata dan pendidikan bahwa menu daging anjing yang melibatkan perlakuan tidak wajar dan tidak manusiawi dalam prosesnya bahkan sudah dianggap “kuliner khas Jogja” oleh banyak orang. Meskipun mayoritas warga DIY dan Jateng adalah muslim. Dari hasil wawancara AFJ dengan sekian banyak responden, kebanyakan menyatakan bahwa daging anjing biasa dikonsumsi sebagai teman minum-minuman keras.

Pecinta binatang yang memberikan makanan kepada anjing, kucing dan hewan lain yang ditinggal warga mengungsi karena Sinabung meletus. Foto: Ayat S Karokaro

Anjing adalah satwa domestik, dan bukan merupakan sumber protein yang baik karena tidak ada standar kesehatan dan kontrol terhadap daging anjing dari pemerintah. Dalam gambar ini adalah pecinta binatang yang tengah memberikan makanan kepada anjing, kucing dan hewan lain yang ditinggal warga mengungsi karena Sinabung meletus. Foto: Ayat S Karokaro

Di beberapa daerah, seperti misalnya Sumatera Utara, wilayah Indonesia timur dan Sulawesi Utara, bahkan daging anjing dianggap sangat wajar dan ‘membudaya’, ada di menu sehari-hari atau menu pesta, dengan mengesampingkan undang-undang tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang sebenarnya berlaku secara nasional di seluruh Indonesia dan mengabaikan perlakuan kejam terhadap hewan saat memprosesnya untuk dijadikan makanan.

“Hasil investigasi kami untuk wilayah DIY, dari satu supplier besar saja, setiap 2 hari ada sekitar 60 ekor anjing yang dibunuh untuk dikonsumsi. Ini di luar penangkapan dan pembunuhan yang dilakukan pribadi atau di tingkat rumahan,” tambah Ina.

Ina berharap, pemerintah dapat kembali berpijak pada undang-undang nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan terutama Bab VI tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan, mensosialisasikan UU ini pada masyarakat (terutama pelaku bisnis terkait) dan memberlakukan UU ini secara tegas. Menegakkan hukum perlindungan hewan yaitu pasal 302 KUHP. Bersinergi dengan organisasi pemerhati kesejahteraan satwa dan instansi terkait untuk mengedukasi masyarakat mengenai prinsip-prinsip kesejahteraan hewan, kesehatan hewan dan bahaya-bahaya yang ditimbulkan dari perdagangan anjing untuk konsumsi.

“Yogyakarta dan kota-kota lain di Indonesia akan menjadi lebih sejuk dan terberkati dengan kasih yang diberikan pada satwa. Ayo Stop Makan Anjing,” tegas Ina.

Heru juga menambahkan, pemerintah dalam hal ini dinas peternakan harus ikut aktip dalam pencegahan ini.  Anjing bukan termasuk hewan untuk konsumsi dan seharusnya di stop perdagangannya, dengan masih adanya Anjing untuk di konsumsi juga bisa merugikan disegi pariwisata. Banyak wisatawan luar negeri yang merasa risih dengan adanya warung-waung Sengsu (Warung makan Anjing). “Ayo bersama stop makan Anjing, Doggies ora mangan asu bro,” tutup Heru.

Source: mongabay.co.id

Aksi Bersih Pantai Kuta, Kerja Keras Tanpa Kesadaran Wisatawan

Peserta aksi menyisir pantai untuk membersihkan sampah plastik di sepanjang Pantai Kuta. Foto:

Peserta aksi menyisir pantai untuk membersihkan sampah plastik di sepanjang Pantai Kuta. Foto: Amelia Tagaroi/Komunitas Bali bersih

Kemajuan sektor pariwisata di Bali, di satu sisi memang membawa dampak ekonomi bagi pulau dewata tersebut. Berbagai sektor pendukung bisnis pelepas lelah ini terus berkembang sepanjang tahun. Mulai dari penyediaan akomodasi, toko cinderamata, tempat hiburan malam, transportasi hingga sektor perdagangan yang mendukung keberadaan para wisatawan.

Namun di satu sisi, maraknya perkembangan pariwisata pun membawa berbagai dampak lingkungan. Salah satu yang terbesar saat ini, tentu adanya wacana reklamasi untuk memperluas area bagi wisatawan yang datang dari penjuru dunia. Namun hal lain yang tak kalah penting dan menjadi masalah dalam keseharian, tentu saja adalah sampah. Setiap hari, pulau Bali menghasilkan sampah tak kurang dari 10 ribu meter kubik, menurut data dari Badan Lingkungan Hidup Bali. Sebagian besar, atau sekitar 57% adalah sampah di wilayah perkotaan, termasuk wilayah pariwisata.

Masalah sampah semakin menjadi persoalan, saat para wisatawan yang datang dari berbagai wilayah tidak memiliki kesadaran untuk membuang sampah di tempat yang semestinya. Alhasil, pulau dewata yang seharusnya nyaman, menjadi semakin kehilangan pesonanya karena serakan sampah di berbagai wilayah, terutama di kawasan wisata utama yang selama ini menjadi andalan seperti Pantai Kuta.

Kuta, sebagai salah satu daya tarik utama Bali, bisa dikunjungi oleh 5.000 hingga 6.000 orang per hari saat musim liburan tiba. Bayangkan berapa banyak volume sampah yang dihasilkan dari jumlah pengunjung yang sebegitu membludak.

Menikmati kebersamaan sebelum memulai aksi bersih pantai. Foto: Amelia Tagaroi/Komunitas Bali Bersih
Menikmati kebersamaan sebelum memulai aksi bersih pantai. Foto: Amelia Tagaroi/Komunitas Bali Bersih

Demi menekan jumlah sampah yang diproduksi setiap hari, Komunitas Bali Bersih dan sejumlah musisi asal Bali, seperti Superman is Dead dan The Bullhead, serta sejumlah komunitas menggelar Kuta Beach Cleanup, pada hari Minggu 9 Februari 2014 silam. Tak kurang dari 200 relawan bergabung dalam pembersihan Pantai Kuta. Rute pembersihan ini dimulai dari gerbang utara Pantai Kuta hingga ke gerbang selatan pintu masuk Pantai Kuta. Aksi ini sendiri dimulai tepat pukul 5 sore waktu setempat hingga pukul 6.30 sore.

Dengan bersenjatakan ratusan kantong sampah dan sarung tangan  yang disediakan oleh Eco Bali Recycling, Band The Bullhead dan Komunitas Bali Bersih, para relawan menyasar setiap jengkal pantai dan memunguti semua jenis sampah yang berserakan di sepanjang pasir putih pantai ini.
Dari hasil operasi pembersihan ini, sampah plastik (non-organik) adalah yang paling banyak ditemukan di tepian pantai. Berbagai bungkus kemasan makanan, minuman dan sejenisnya tersebar di pantai yang terkenal dengan keindahan matahari terbenamnya ini.

Kendati para peserta sangat bersemangat dalam melakukan aktivitas ini, namun Komunitas Bali Bersih menyadari bahwa butuh lebih dari sekedar aksi sehari untuk menyelesaikan masalah sampah di sejumlah lokasi wisata di Bali. “Kegiatan bersih-bersih yang kami lakukan bertujuan membantu mengurangi banyaknya sampah yang belum tertanggulangi di Pantai Kuta. Namun demikian, kami tahu bahwa kegiatan ini hanya menyelesaikan masalah sampah hari ini saja,” ungkap Pendiri Komunitas BaliBersih, Dani Aristya dalam media rilis kepada Mongabay-Indonesia.

Sampah plastik, masih mendominasi. Foto: Amelia Tagaroi/Komunitas Bali Bersih
Sampah plastik, masih mendominasi. Foto: Amelia Tagaroi/Komunitas Bali Bersih

Hal senada juga diungkapkan oleh salah satu musisi pendukung kegiatan ini, yaitu Ajiq Bullhead, dari grup musik The Bullhead,”Aksi Kuta Beach Cleanup ini mungkin memang salah satu dari keguatan serupa terbesar dari yang pernah ada di Bali dengan setidaknya 200 relawan yang turut berpartisipasi. Kegiatan ini bisa dibilang sukses, dengan massa yang banyak kami berupaya agar benar-benar bisa total membersihkan dan paling tidak mengurangi sampah di Pantai Kuta,” ungkap Ajiq.

Hasil operasi pengumpulan sampah ini sendiri akan ditampung oleh Eco Bali Recycling untuk didaur ulang menjadi barang-barang yang bermanfaat.
Kesadaran warga dan para wisatawan memang menjadi kunci utama dalam menjaga keindahan dan kelestarian objek-obje wisata alam di Indonesia. Sama halnya dengan yang terjadi di Pantai Kuta, yang tak lama setelah operasi bersih-bersih ini kembali kotor oleh tangan-tangan wisatawan yang berkesadaran rendah dan membuang sejumlah sampah plastik dan kemasan makanan di pasir pantai.

“Terbukti, saat saya akan pulang dan melintasi rute aksi, saya masih melihat sampah-sampah seperti gelas/botol air mineral, bungkus snack, kembali ditinggalkan, berserakan begitu saja di atas pasir. Paling tidakkami sudah melakukan sesuatu dan itu untuk yang terbaik,” ungkap Ajiq lebih lanjut.

Kawasan wisata Kuta di Bali bagian selatan, yang semakin padat akibat penumpukan investasi dan tidak mempertimbangkan daya dukung lingkungan. Foto: Aji Wihardandi
Kuta, masih menjadi primadona. Tanpa perawatan yang terus berjalan, wisata alam tak akan lagi bisa menjadi sandaran bagi Bali. Foto: Aji Wihardandi

Bali memang indah, namun tanpa kesadaran dari para pelancong yang setiap saat menikmati keunikan pulau dewata ini, keindahan Bali mungkin tak akan bertahan lama. Memulai dari hal sederhana, seperti membuang sampah pada tempatnya, akan sangat signifikan melestarikan salah satu kekayaan alam dan budaya Indonesia yang masih ada sampai saat ini.

Source:  mongabay.co.id