Selasa, 26 November 2013

Teluk Benoa, Benteng Alam Bali Selatan Yang Semakin Renggang…

Anak-anak dikenalkan dengan hutan mangrove dan tanaman bakau di Teluk Benoa yang kini semakin terancam akibat laju pembangunan. Fungsi hutan mangrove sebagai sarana pendidikan lingkungan pun akan terancam hilang. Foto: Ni Komang Erviani

Suatu pagi di awal Juni 2013, puluhan anak-anak dari dua sekolah dasar di Bali tampak ceria saat menyusuri areal hutan mangrove di kawasan Desa Tuban, Kabupaten Badung. Ditemani sejumlah mahasiswa dari Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana dan para guru, mereka berjalan di atas jalan setapak dari kayu dan bambu untuk lebih mengenal hutan bakau dan ekosistem Teluk Benoa. Sebagian besar anak rupanya baru pertama kali melihat pohon bakau. “Senang diajak lihat bakau. (Saya) baru pertama kali ke sini,” ujar I Gede Muliartha Wiguna, 8 tahun siswa kelas 2 SD No. 10 Jimbaran.

Hari itu, bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup sedunia, Conservation International (CI) Indonesia bekerjasama dengan Universitas Udayana dan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Badung, sengaja menggelar program pendidikan tentang mengenal hutan bakau dan ekosistem Teluk Benoa. “Kami ingin tanamkan kepedulian lingkungan sejak dini, terutama agar mereka tahu betapa Teluk Benoa ini punya fungsi ekosistem yang luar biasa,” jelas Made Iwan Dewantama dari CI Indonesia.

Ya, Teluk Benoa. Rupanya belum banyak masyarakat Bali yang mengetahui betapa teluk yang terbentang antara Pulau Serangan sampai Nusa Dua ini sebenarnya memegang peranan penting bagi Bali selatan. Teluk Benoa merupakan satu-satunya benteng yang secara alamiah berfungsi melindungi wilayah Bali selatan dari berbagai bencana seperti banjir, tsunami, dan lainnya. Ironisnya, kawasan teluk ini pula lah yang justru semakin terdegradasi oleh berbagai aktivitas merusak lingkungan akibat pembangunan tidak terkendali. ”Kalau tidak ada upaya segera untuk menyelamatkan Teluk Benoa ini, tidak mustahil wilayah Bali selatan akan tenggelam, ” kata Iwan.

Di masa lalu, Teluk Benoa sebenarnya merupakan bentangan hutan mangrove sepanjang puluhan kilometer. Kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai juga ada di wilayah teluk ini. Menurut peneliti dari Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana, I Gede Hendrawan, salah satu fungsi kawasan Teluk Benoa adalah sebagai pelindung kawasan Bali selatan dari bencana tsunami dan abrasi. “Bali selatan termasuk daerah rawan tsunami, karena ada lempeng tektonik di selatan Bali. Secara alamiah, mangrove di kawasan Teluk Benoa ini sebenarnya sangat bermanfaat melindungi Bali selatan terutama Denpasar dan Badung. Karena kalau ada tsunami, kalau tidak ada mangrove, habis semua,” ujar Hendrawan yang juga Pembantu Dekan 3 bidang kemahasiswaan di Fakultas Kelautan dan Perikanan.

Tak hanya itu, Teluk Benoa juga merupakan muara dari sejumlah sungai besar seperti Tukad Badung dan Tukad Mati. Tukad merupakan sebutan sungai dalam bahasa Bali. “Kalau terjadi sedimentasi di kawasan teluk ini, maka bisa dipastikan wilayah Denpasar dan sebagian Badung akan tenggelam. Karena air sungai kesulitan mengalir ke laut,” jelasnya. Ironisnya, sejumlah proyek terus mendegradasi kawasan Teluk Benoa. Kawasan teluk ini terus didesak oleh pembangunan fisik di atas lahan bakau yang diurug, hingga berubah fungai menjadi ruko, hotel, juga perumahan yang secara kasat mata dapat dilihat di sepanjang Jl. By Pass Ngurah Rai dari wilayah Serangan hingga Nusa Dua.

Megaproyek reklamasi Pulau Serangan di era orde baru dan pembangunan Pelabuhan Benoa merupakan bagian tak terpisahkan dari perusakan Teluk Benoa. Dijelaskan Hendrawan, sebuah penelitian yang dilakukan kelompok peneliti Universitas Udayana menemukan bahwa sebelum reklamasi Serangan dan pembangunan pelabuhan Benoa, perputaran air laut di kawasan Teluk Benoa sangat bagus. “Perputaran arus (tide exchange) air yang bagus berdampak pada ekosistem mangrove yang juga menjadi bagus saat itu,” kata Hendrawan.

Namun pasca dibangunnya dua proyek tersebut, perputaran arus air menjadi terhambat. Sebanyak 50 persen air terperangkap di areal teluk karena perputaran arus yang tidak sempurna. “Akibatnya, terjadi sedimentasi di kawasan Teluk Benoa. Ini jelas berbahaya karena teluk ini merupakan muara dari sejumlah sungai besar. Semua zat polutan yang terbawa dari daratan, juga mengendap sehingga pencemaran di kawasan teluk semakin berat, merusak hutan bakau maupun meracuni ikan,” Hendrawan menambahan.

Jalan tol di atas laut akan menambah beban Teluk Benoa, dan menekan fungsi kawasan ini sebagai penahan bencana alam. Foto: Ni Komang Erviani

Beban terbaru yang harus ditopang Teluk Benoa adalah pembangunan jalan tol di atas perairan oleh konsorsium yang terdiri dari sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), didukung Pemerintah Provinsi Bali dan Pemerintah Kabupaten Badung. Jalan sepanjang 12 kilometer itu terbentang di sepanjang Teluk Benoa, menghubungkan Pelabuhan Benoa-Bandara Ngurah Rai- Nusa Dua. Meski di awal pihak konsorsium mengklaim hanya menggunakan sedikit lahan mangrove di titik Pelabuham Benoa, Bandara Ngurah Rai, dan Nusa Dua, namun ternyata proyek ini sejak awal melakukan proses pengurugan laut dengan kapur. Dalihnya, pengurugan hanya dilakukan sementara dalam proses pembangunan, untuk membawa materiil tiang pancang ke tengah laut.

Dalam Amdalnya di awal, pelaksana proyek menyatakan hanya akan melakukan pemasangan tiang dengan ponton. Namun dalam praktiknya, mereka melakukan pengurugan dengan alasan ponton tidak dapat digunakan karena pasang surut air yang cukup tinggi. Ironisnya, demi proyek yang dirancang untuk APEC Summit, Amdal proyek itu pun direvisi. Pelaksana proyek juga berjanji akan mengeruk kembali batu kapur yang diurug ke laut bila proyek tersebut telah rampung.

“Sayangnya, kami belum sempat melakukan penelitian tentang dampak jalan di atas perairan ini untuk ekosistem di Teluk Benoa. Tetapi yang pasti, jalan ini akan mengubah pola arus, mengingat ada banyak tiang pancang dibangun untuk menopang jalan ini,” jelas Hendrawan. Pihaknya juga tegas meminta pelaksana proyek jalan tol di atas perairan agar berpegang pada janjinya, mengeruk kembali kapur yang telah diurug ke laut. “Kalau pengurugan itu tidak diperbaiki, jelas akan sangat merusak karena air tidak mengalir. Bali selatan akan tenggelam,” Hendrawan mengingatkan.

Source: www.mongabay.co.id

Selasa, 19 November 2013

Lokasi Penanaman Mangrove

Lokasi penanaman mangrove oleh Yayasan Artha Graha Peduli dengan mendatangkan pesepakbola dunia Cristiano Ronaldo di Teluk Benoa, Bali. Reklamasi pembuatan pulau baru untuk wisata akan dilakukan tak jauh dari tempat ini. Foto: Ni Komang Erviani

Sebagai destinasi wisata dunia, Bali tak hanya menjadi target kunjungan para turis mancanegara. Pulau yang hanya seluas 5.632,86 km2 juga menjadi incaran para investor, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Terbaru, sebuah perusahaan swasta berencana membangun beberapa pulau baru di sisi selatan Bali untuk dijadikan kawasan pariwisata terpadu.

Kajian akademis atas rencana pembangunan pulau baru itu rupanya sudah dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Udayana atas permintaan PT. Tirta Wahana Bali Internasional, perusahaan yang bakal mengembangkan proyek itu.

Dalam dokumen setebal 73 halaman, berjudul Rencana Pemanfaatan dan Pengembangan Kawasan Perairan Teluk Benoa Bali, terungkap bahwa reklamasi rencananya dilakukan di kawasan Teluk Benoa, tepatnya di perairan yang tak jauh dari Tanjung Benoa. Reklamasi dimulai dari perluasan Pulau Pudut, sebuah pulau kecil yang hanya seluas beberapa are dekat Tanjung Benoa.

Benteng alami, kini semakin terjepit pembangunan proyek jalan tol di atas laut, dan kawasan yang berfungsi sebagai penahan tsunami ini kini semakin rentan terhadap bencana. Foto: Ni Komang Erviani.


Titik rencana pembangunan itu tidak jauh dari lokasi penanaman mangrove oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Cristiano Ronaldo pekan lalu. Ironisnya, kawasan Teluk Benoa meupakan satu-satunya benteng yang secara alamiah berfungsi melindungi wilayah Bali selatan dari berbagai bencana seperti banjir, tsunami, dan lainnya. Teluk Benoa juga merupakan muara dari sejumlah sungai besar yang terbentang di pulau Bali, seperti Tukad Badung dan Tukad Mati.

PT Tirta Wahana Bali Internasional merupakan perusahaan yang satu grup dengan beberapa perusahaan pengelola Discovery Kartika Plaza hotel dan Discovery Shopping Mall di Kuta Bali serta Hotel Borobudur di Jakarta serta pemilik sejumlah gedung, termasuk Gedung Bursa Efek Indonesia. Dalam dokumen kajian akademik tersebut, terungkap bahwa PT. Tirta Wahana Bali Internasional akan membangun sebuah kawasan wisata terpadu yang dilengkapi tempat ibadah untuk lima agama, taman budaya, taman rekreasi sekelas Disney Land, rumah sakit internasional, perguruan tinggi, perumahan marina yang masing-masing dilengkapi dermaga yacht pribadi, perumahan pinggir pantai, apartemen, hotel, areal komersial, hall multifungsi, dan lapangan golf. Luasan reklamasi diperkirakan mencapai total sekitar 400 sampai 600 hektar.

Pulau baru itu pun direncanakan dapat diakses langsung dari jalan toll di atas perairan yang baru saja rampung. Belakangan diketahui, jalan di atas perairan yang menghubungkan Pelabuhan Benoa-Bandara Ngurah Rai-Nusa Dua itu sudah dilengkapi taper (semacam lintasan untuk penambahan jalan) yang posisinya tepat mengarah ke Tanjung Benoa.

Dalam kesimpulan hasil kajian tersebut, disebutkan bahwa pada prinsipnya rencana pemanfaatan Teluk Benoa itu bisa diteruskan. Disebutkan bahwa dari aspek teknis, reklamasi Teluk Benoa akan bisa mengurangi dampak bencana alam tsunami, kerusakan fisik pantai (erosi dan abrasi), menambah sarana di wilayah pesisir dan pulau pulau kecil (WP3K) serta mengurangi kemacetan di Bali Selatan. Dari aspek lingkungan, reklamasi dinyatakan akan bisa mengurangi kerusakan ekosistem pesisir (mangrove dan padang lamun). “Reklamasi Teluk Benoa dapat dilakukan tanpa merusak lingkungan. Bahkan sebaliknya, reklamasi dapat dilakukan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas lingkungan dalam hal ini kualitas air laut dan udara di Tanjung Benoa,” tertulis dalam kesimpulan kajian itu.

Dari aspek sosial budaya, pengembangan kawasan reklamasi diklaim akan bisa melestarikan nilai nilai budaya Bali dan pemberdayaan adat setempat. Gubernur Bali Made Mangku Pastika ketika dikonfirmasi pada Sabtu pekan lalu, mengakui adanya rencana pembangunan pulau baru itu. Meski demikian, Pastika masih enggan bersikap, meski sejumlah lembaga swadaya masyarakat mendesak agar Pastika tegas menolak rencana reklamasi tersebut.

“Dengar dulu apa yang mau dibuat. Jangan serta merta menolak. Mari kita dengar dulu mereka, mau bikin apa. Kalau ternyata bagus, menguntungkan Bali, tidak merusak Bali, tetap menjaga adat istiadat budaya alam Bali, bisa memberi kesejahteraan kepada kita, kenapa tidak? Tapi kalau jelas jelas akan merusak alam Bali, merusak budaya, merugikan kita, ya harus ditolak,” kata Pastika.

“Lebih baik kita jangan serta merta, kalau dengar apa, langsung tolak. Mari kita dengarkan dulu. Orang nanti alergi mau datang ke Bali. Kita memerlukan lho, orang yang mau investasi di Bali. Apakah itu orang Bali, apakah itu orang Indonesia, atau pihak asing sepanjang tidak merusak alam Bali, tidak merusak adat istiadat budaya kita dan tidak merusak nama Bali di dunia, dan tidak melanggar hukum,” Pastika menambahkan.

Pastika menyatakan pihaknya akan membuka ruang berdiskusi yang melibatkan akademisi, tokoh adat, tokoh agama, dan tokoh masyarakat lainnya sebelum memutuskan menolak atau mengizinkan reklamasi. “Kalau mereka ingin menyelamatkan Bali, kenapa tidak? Sekarang ini ada global warming lho, air laut naik. Kalau misalnya orang nanam mangrove bagus, jadi beltnya Bali, kenapa tidak boleh? Janganlah kita terus apriori. Saya rasa sudah waktunya kita untuk berdiskusi, berdialog. Jangan terus apa-apa, tolak. Itu gak baik,” kata dia.

Pastika membantah pihaknya tidak peduli pada kondisi alam Bali.”Saya gubernur, tentu tidak mau Bali dirusak. Saya yang tanggung jawab,” kata dia.

Pastika justru menilai reklamasi dapat menjadi solusi untuk menekan konversi lahan pertanian menjadi sarana pariwisata seperti terjadi selama ini. “Misalnya, daripada pakai sawah, kenapa nggak kita tambah luas pulau kita. Singapura bikin begitu kok. Hongkong bikin begitu. Singapura itu makin hari makin gede lho. Apa rusak? enggak,” kata dia.

Ketua Dewan Daerah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Bali, Wayan ‘Gendo’ Suardana tegas meminta pemerintah menolak izin reklamasi tersebut. Gendo justru mempertanyakan hasil kajian yang dilakukan LPPM Unud. “Di mana logikanya reklamasi itu akan mengurangi dampak tsunami dan memperbaiki lingkungan?” ia mempertanyakan.

Gendo memastikan reklamasi itu akan merusak alam Teluk Benoa, yang selama ini sudah terdegradasi oleh ulah manusia. Terbaru, kawasan Teluk Benoa menjadi korban pembangunan jalan toll di atas perairan yang dalam praktiknya melakukan pengurugan limestone ke laut. “Dampak buruk reklamasi nyata nyata bisa kita lihat dari reklamasi Pulau Serangan. Kenapa harus diulang lagi?” tegasnya.

Gendo juga menduga aksi penanaman mangrove yang mendatangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan pesepakbola dunia Cristiano Ronaldo pekan lalu, hanyalah kedok untuk melancarkan upaya reklamasi lewat pencitraan. Aksi penanaman pohon dan penobatan Ronaldo sebagai Duta Peduli Mangrove Bali pekan lalu digelar oleh Yayasan Artha Graha Peduli, sebuah yayasan yang dimotori perusahaan perusahaan di bawah bendera Artha Graha yang juga mengelola Discovery Kartika Plaza hotel dan Discovery Shopping Mall di Kuta Bali. “Jadi jelas sekali, penanaman mangrove itu hanya kedok pencitraan untuk melakukan reklamasi. Kasihan Cristiano Ronaldo hanya diperalat,” tambah Gendo.

source: www.mongabay.co.id